Jika
ada yang bertanya apa yang saya dapatkan dari Workshop Cerpen Kompas di Bali,
jumat kemarin. Saya kurang tertarik untuk menjelaskan atau menunjukkan materi
Workshop yang diberikan panitia. Pertanyaan itu tidak akan saya jawab dalam
sebuah draf materi. Tapi izinkan saya mengajak siapapun yang membaca tulisan
ini (terutama saya pribadi) untuk membuktikan bersama apa yang (harusnya) saya
dapatkan dari acara tersebut. Sebenarnya hanya ada satu kunci, setelah membuka
kunci itu kita bisa masuk ke semua ruang yang ingin kita telusuri. Kunci itu
bernama “Peka dan Segeralah Menulis!”.
Saya putuskan berangkat
ke Bali satu hari sebelum acara. Untungnya panitia sangat berbaik hati
memberikan tempat tinggal gratis untuk peserta dari luar Bali selama kegiatan. Lebih
beruntung lagi saya malah satu kamar dengan mbak Ria AS, salah satu peserta
dari jawa timur yang sudah menerbitkan buku kumpulan cerpennya sendiri.
Saya
akan melanjutkan cerita ini langsung ke tanggal 22.
Pukul delapan pagi,
peserta Workshop mulai berdatangan di Bentara Budaya Bali. Mengenakan kaos
bertuliskan “50 Tahun Kompas” disertai dengan tanda pengenal dan beberapa
peralatan lain seperti bolpoin, notebook, materi workshop dari bapak Budi
Darma, Buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2013 –Yang sudah saya baca sebelumnya–,
buku pameran ilustrasi cerpen kompas 2010, buku Rimba Senjakala Winarso Taufik,
dan paperbag bertuliskan kompasprint.com.
Workshop ini diadakan
di 5 kota: Padang Panjang, Denpasar, Bandung, Makasar, dan Jakarta. Peserta Worshop
Cerpen Kompas di Bali terdiri dari 40 orang yang berasal dari Bali (19 orang),
Jawa Timur (14 orang), NTT (6 orang), dan NTB (1 orang) yang sebelumnya sudah
diseleksi oleh tim kurator Workshop Cerpen Kompas Bali.
Sebelum pukul sembilan
pagi, terlebih dahulu semua peserta memperkenalkan diri dan ditampilan CV
Kepenulisannya. Peserta termuda adalah anak kelas 2 SMA yang berasal dari Bali
bernama Nuril Hanifa. Sedang yang paling senior berusia 57 tahun bernama Agust
G Thuru. Setelah itu acara dibuka dengan sambutan dari perwaikilan Kompas
(sayangnya redaktur cerpen kompas tidak hadir karena menadapatkan bagian di
Bandung).
Tanpa banyak berbasa-basi, dua orang yang ditunggu-tunggu akhirnya
disilakan duduk di kursi pemateri. Pak Gde Aryantha Soethama mengenakan setelan
baju biru tua dan celana biru, topi petnya juga tak pernah ketinggalan. Sedang pak
Budi Darma langsung menarik perhatian saya. Bukan karena setelah baju
garis-garis biru kehijau-hijauan yang ditutupi jaket coklat dan celana hijau
tua yang ia kenakan. Diusia ke 78 tahun, perawakannya yang tidak lagi muda
malah menimbulkan keramahan yang begitu luar biasa, apalagi ketika ia mulai
mengulas senyum untuk menyapa kami di ruangan berAC itu.
Materi pertama
disampaikan langsung oleh pak Budi Darma. Penulis novel Olenka ini memberikan materi
yang cukup berbeda. Ia tidak memaparkan trik-trik menulis cerpen atau hal-hal
yang saya bayangkan sebelumnya. 51 slide power poin yang ia tampilkan sama
sekali tidak berisikan pantangan-pantangan dalam menulis atau trik-trik sulap
untuk membuat cerpen yang baik. Slide yang ia tunjukkan berisi penggalan-penggalan
kisah penulis Indonesia dan luar negeri.
Mulai dari mengulas
cerpen Soeman HS, Edgar Allan Poe, Somerset Maugham, Subagio Sastrowardoyo,
Stephen King, Pavlov, dan Prof. J.B Watson.
“Menulis itu seperti
mengungkap kebenaran dalam hati manusia. Kita bisa berbasa-basi pada orang
lain, tapi tidak pada diri kita sendiri,” tutur pak Budi Darma.
Materi selanjutnya
disampaikan oleh pak Gde Soethama. Ulasannya sebagai berikut:
Kalau kita hendak
menulis, ada 2 hal yang harus kita perhatikan.
1.
APA
yang
ingin kita sampaikan. Jika ingin mendapatkan “Apa”, kita harus BERKELANA.
Berkelana dalam hal ini bisa kita lakukan secara fisik, khayal, atau
pengembaraan jiwa-raga. Orang yang cacat fisik bisa berkelana dengan
khayalannya. Cerpen yang bagus adalah hasil dari pengembaraan fisik dan khayal.
2.
BAGAIMANA
ketika
anda mendapatkan teks setelah berkelana
dan berkhayal, persoalan selanjutnya yang sering meuncul adalah “mau kita
apakan teksnya?”. Teks terdiri dari fiksi dan nonfiksi. Banyak cerpen yang
tidak lebih seperti laporan, karena ia melupakan proses “kayalannya”. Jika salah
langkah, cerpen bisa menjadi laporan.
Teori
Gelembung
Untuk mendapatkan
cerita, kita bisa menggunakan teori gelembung. Teori gelembung ini seperti
menghubungkan suatu yang kita lihat dengan suatu yang lain. Misalnya gelembung
awal kita memikirkan tentang “Sanur”, di pantai sanur kita melihat “Penjual
bakso”, penjual bakso itu kita khayalkan sebagi “teman”, kemudian kita
khayalkan teman kita itu sedang “patah hati”, dst. Selain penjual bakso kita
juga melihat “Nusa Penida”, nusa penida itu terlihat “Kelam”, kekelamannya itu
membuat kita mengingat “masa lalu”, masa lalu itu membuat kita berkhayal
tentang “mantan kekasih”, dst.
Dengan teori gelembung,
kita bisa mengaitkan suatu kejadian dengan kejadian yang lain. Tapi yang perlu
kita perhatikan, cerpen yang baik harus memiliki focus cerita. Tidak bisa
dicampur adukkan begitu saja.
Benang
Merah
Untuk mengolah
gelembung-gelembung yang coba kita buat, hal yang harus penulis perhatikan
adalah bagaimana membuat benang merah. Kita bisa menyebut benang merah sebagi
takdir. Benang merah bisa berupa tokoh, suasana, atau kata-kata.
Membuat benang merah
tidaklah mudah. Semisal sesuatu yang tampil di depan bisa dirasakan kembali di
ending. Benang merah membuat cerita kita tajam dan berkesan.
Setelah memaparkan
sedikit materi, panitia memberikan waktu 60 menit untuk sesi tanya jawab. Berikut
beberapa hasil tanya jawab:
-
Kapan
dan kenapa pak Budi Darma menulis?
“Saya
menulis karena pertanyaan-pertanyaan dalam hati yang saya alami sejak kecil. Sejak
kecil saya berkelana keluar masuk kampung. Ketika keluar rumah saya melihat
anak bayi dilahirkan, orang-orang tampak berkumpul dan bahagia melihat
kelahiran anak itu. ketika pulang ke rumah saya melihat bendera kuning di depan
rumah seseorang. Banyak orang yang menangis disana. Kemudian saya bertanya pada
ibu saya. Ibu mengapa ada orang yang
meninggal? Apa jika tidak ada yang meninggal dunia ini akan sesak?, dst. Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang membuat saya merasa harus menulis. Semua cerpen yang saya tulis
lahir berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan pertanyaan itu tidak akan
pernah habis.” (Budi Darma)
-
Apakah
bapak pernah membuat draf sebelum menulis?
“Saya
tidak pernah menggunakan draf. Karena ketika menggunakan draf selalu meleset. Kenapa?
Coba lihat negara kita saja ketika membuat rencana pemerintahan, tidak pernah
ada yang berjalan sesuai rencana. Kita bisa merencanakan, tapi keadaan bisa
mengubahnya. Karena kita tipe masyarakat Singkronik.” (Budi Darma)
-
Katanya
cerpen itu adalah bacaan sekali duduk, tapi apakah bisa kita membuat cerpen
sekali duduk?
“Tidak
ada cerpen sekali duduk, karena kita pasti akan terus memperbaiki tulisan kita
sampai meninggal. Misalnya Muhtar Lubis, setiap kali menulis cerpen, cerpennya
disimpan. Setelah seminggu atau sebulan, dia akan menemukan kekurangannya.”
(Budi Darma). menulis cerpen itu bukan
ketika pertama kita menulis, tapi ketika kita mulai mengedit tulisan kita (Gde
Soethama).”
-
Bagaimana
cara menggambarkan kedalaman tokoh?
Cerpen-cerpen
sekarang terlalu sibuk dengan kata-kata, sampai melupakan cerita. Untuk menggambarkan
kedalaman tokoh memang lebih bebas pengarang menulis novel daripada cerpen. Tapi
dalam cerpen juga kita perlu memerhatikan itu. ketidakmampuan kita dalam
mendalami karakter tokoh karena kita lebih suka mendongeng daripada melakukan
abstraksi. Kita kurang mampu menganalisis tapi sangat mudah menceritakan suatu
hal.” (Budi Darma)
-
Bagaimana
menjadi pengarang yang baik?
“Pertama,
silahkan tiru gaya menulsi banyak orang. Setelah meniru barulah kita bisa
menemukan gaya menulis kita sendiri. Kita tidak akan menghasilakn cerpen jika
hanya duduk-duduk.” (Gde Sotehama)
Setelah menerima
materi, kami break 2 jam untuk ibadah
dan makan siang. Pukul 14.00 kami diajak untuk turun observasi guna mendapatkan
pengalaman dan menemukan inspirasi. Dengan mengenakan bis, 40 peserta dibawa
keliling ke pantai Sanur. Setelah satu jam lebih di pantai Sanur. Kami dibawa
kembali ke tempat acara dan mulai menulis masing-masing.
Karena waktu yang
diberikan terbatas, kami hanya diminta menulis penggalan awal, tengah, atau
akhir cerpen. Setelah dibagi menjadi delapan kelompok, setiap kelompok diminta
mendiskusikan cerpen siapa yang akan dipresentasikan ke depan.
Dalam sesi akhir yaitu presentasi,
kelompok lain berhak memberikan komentar terhadap cerpen yang dipresentasikan. Seteah
itu barulah pak Budi Darma dan Gde Soethama memberikan komentar dan masukannya.
Pada sesi ini turut juga hadir pak Abu Bakar, seorang penulis dari Bali yang
pada akhir acara membagikan buku kumpulan cerpennya yang berjudul “Amerika Di Luar
Jendela” pada semua peserta.
Pukul 18.40 acara
ditutup dengan sambutan dari perwakilan Kompas dan pemberian sertifikat secara
simbolik pada peserta. Tidak lupa sesi foto bersama menutup Workshop hari itu.
Tapi tidak berakhir di situ. Panitia menyiapkan acara “Renungan Kebudayaan” yang
dipimpin langsung oleh pak Budi Darma. acara tersebut dimulai pukul 18.15.
Dibuka dengan
penampilan music klasik, pak Budi Darma memimpin Renungan Kebudayaan malam itu.
wajahnya tampak masih bersemangat membacakan renungan kebudayaan yang
ditulisnya sendiri. Tidak hanya itu, pak Abu Bakar juga turut memeriahkan acara
malam itu dengan membacakan cerita pendek Budi Darma yang berjudul “Mata Ibu”. Acara
renungan kebudayaan tersebut mendapatkan respon positif dari semua peserta,
karena menjadi penutup yang manis untuk acara Workshop Cerpen Kompas di pulau
Dewata.
sempurna!!!!!
BalasHapusTerimakasih sudah baca ya :)
BalasHapusMantap Mbak...terima kasih ilmunya....
BalasHapussama-sama, termakasih sudah baca ya :)
BalasHapus