Langsung ke konten utama

Cerita Panjang: LPDP, Sebuah Keisengan, dan Takdir Tuhan yang Tidak Terbantahkan




Semasa kuliah S1, saya sudah beberapa kali coba daftar beasiswa yang ujungnya kecewa alias gak lolos-lolos. Walaupun saat itu dengan sombongnya saya ngerasa sudah memenuhi kriteria awardee. Tapi kata Tuhan, itu bukan waktu yang tepat. Jadi saya sudah kebal dengan yang namanya gagal untuk urusan beasiswa.


Setelah wisuda, awalnya saya nggak niat untuk daftar beasiswa S2. Karena gagal berkali-kali itu kadang buat kita jadi agak tahu diri (atau bisa jadi ini lebih ke kurang percaya diri). Jadi saat salah seorang kawan menawarkan untuk ikutan daftar LPDP, saya iseng-iseng aja ikutan daftar, toh kalaupun gagal lagi bukannya saya sudah kebal?

Keisengan saya berlanjut ketika skor Toefl saya ternyata pas-pasan untuk daftar LPDP jalur Afirmasi. Jujur, kendala bahasa asing menjadi batu sandungan besar saya saat itu. Tapi untung batunya besar, jadi saya gak jatuh. Berawal dengan skor Toefl yang cuma 363, saya iseng belajar kemana-mana dan corat coret buku latihan soal, utak atik soal di internet, sampai akhirnya nekat daftar tes toefl ITP. Saat itu saya curhat ke salah satu teman, kalau skor Toefl saya bisa sampai 400an, itu berkat doa Ibu saja, karena jujur saat Toeflan saya banyak ngawak. Berkat mau Tuhan dan secuil usaha yang setiap hari membuat hati saya bergemuruh dan ingin menangis, ternyata skor saya saat itu 417. Memang tergolong rendah, tapi setidaknya bisa digunakan untuk mendaftar LPDP jalur afirmasi yang minimal skornya harus 400.

Jadilah saya bisa tenang mempersiapkan berkas lain seperti rencana studi, dua buah essai yang menguras air mata saat saya menulisnya (bukan karena tema essai yang harus dibuat, tapi saya banyak curhat di essai itu, terlebih saya sangat gampang menangis), surat rekomendasi dosen (yang ini saya banyak terbantu karena selama menjadi mahasiswa cukup dekat dengan beberapa dosen yang baik hihi), dan beberapa persyaratan lain yang cukup menguras waktu dan tenaga. Untung saja saya dikelilingi orang-orang kece yang senantiasa ikhlas membantu mempersiapkan berkas-berkas yang sedikit ribet dan tidak bisa jadi dalam satu kali duduk (terimakasih teman-teman yang tidak akan saya sebutkan namanya agar amal kalian semakin bernilai :D). H-3 penutupan, tepatnya tanggal 1 april, saya berhasil submit data dengan selamat.

17 april sekitar pukul setengah tujuh malam, hasil seleksi administrasi keluar dan saya dinyatakan lolos, saya cukup bahagia saat itu, hehe. Tahapan selanjutnya tes Assessment online (AO), yang jadwal tesnya diundur karena bertepatan dengan pilkada DKI Jakarta. Tes kedua ini tergolong baru, karena sebelumnya tidak ada tes AO. Jadilah kami bertaya-tanya macam mane lah model tes ini T.T.

Di grup line lpdp, teman-teman banyak mensharing perkiraan-perkiraan model tes AO ini, katanya macam tes psikologis gitu. Ya udah saya tidak mempersiapkan apa-apa wkwk, bukan apa-apa, tapi saat itu saya berpikir sederhana saja. Tentu saya memiiki keprbadian model tertentu dengan skor terentu yang tidak mungkin saya ubah untuk jadi macam kepribadian orang lain, jadi saya berniat menyerahkan saja pada pihak penyeleksi besok apakah saya termasuk kriteria yang diharapkan.

Tanggal 24 april 2017, saya bersama lima kawan dari mataram ikut tes AO di tempat yang sama. Beberapa kawan tampak melakukan perisapan matang, mulai dari batrai leptop yang sudah full, jaringan internet yang stabil, sampai meminta kawan yang lain merekam jawaban mereka saat tengah tes.

Saya tidak berniat merekam jawaban tes saat itu karena seperti yang saya katakan sebelumnya, saya akan nothing to lose untuk tes AO ini. Sebelum mulai, saya menelpon Ibu untuk minta doa. Wah harusnya bagian ini saya sensor saja ya? Takutnya menimbulkan kesan riaq hehe. Tapi mungkin ini poin yang cukup penting, karena selain usaha dan doa pribadi, restu ibu itu dampaknya tidak bisa didefinisikan, coba saja.

Tes AO terdiri dari dua bagian tes yaitu Values and Motivies Inventory (VMI) dan Fifteen Factors Questionnaire Plus (15FQ+). Tes VMI ini biasanya sebagai profil buat nilai seseorang bagaimana energy atau pengaruh seseorang di lingkungan kerjanya, sedangkan 15FQ+ ini lebih ke penilaian kepribadian seseorang. Total soal kedua tes ini ada 320an dengan ekstimasi waktu 50 menit. Jadi kalian cuma harus fokus dan gak bisa balik pulang dulu nanya jawaban ke tetangga, karena waktu pengerjaannya gak bisa dipause.

Sampai akhirnya tanggal 5 mei tiba dan waktunya pengumuman tes AO. Saya sangat ingat, saat itu lagi-lagi pukul setengah tujuh malam, saya dan kedua adik saya tengah makan bakso di warung. Saya cek email, belum juga ada pengumuman, sedangkan di grup line, beberapa kawan sudah banyak yang memasang emoticon kecewa. Bahkan salah seorang kawan dekat yang juga membantu saya saat mendaftar juga tidak lolos AO. Menurut kabar burung, sekitar 40 persen peserta memang dinyatakan tidak lolos di tahap AO ini. Jadilah saat itu saya lagi-lagi mempersiapkan diri untuk kecewa lagi.

Tapi kalau Tuhan maunya kamu lulus, kamu bisa apa? Tepat setelah beberapa suapan bakso yang saya makan, hp saya bergetar dan sebuah email masuk. Dan ternyata saya lolos. Saat itu saya menangis di tempat. Kedua adik saya bingung, beberapa cewek-cewek di bangku sebelah juga ngeliatin dengan tatapan yang tidak saya perhatikan saat itu, saya sibuk nangis haha. Cukup memalukan, tapi ya mau gimana lagi.

Percaya gak sih kalau Tuhan punya takdir yang kadang nggak masuk sama sekali di akal? Saya buktikan itu saat daftar LPDP ini. Jadi ceritanya lima hari sebelum pengumuman tes AO, salah seorang keluarga yang anaknya (nah anaknya ini bibik saya, hehe) lulus masuk Universitas Airlangga Surabaya minta tolong ke saya untuk nemenin anaknya daftar ulang dan ngurus persyaratan maba di Surabaya selama dua minggu. Kebetulan beliau nggak bisa nganter anaknya gara-gara harus ngurus anggota keluarga lain yang sakit. Ya udah walaupun saya juga gak berpengalaman ke Surabaya, saya iyakan. Tiket pesawat udah dipesankan, dibeliin gratis. Tiga hari setelah pesan tiket, saya malah lulus AO yang kebetulan banget lokasi tesnya juga di Surabaya. Kebetulan lain yang Tuhan rencanakan, jadwal tes substansi saya di Surabaya juga bertepatan sekali sebelum jadwal balik ke Lombok. Kurang keren apalagi coba? Kamu iseng, tapi Tuhan lebih iseng lagi!

Saya gak bermaksud buat scrip sinetron Indonesia, jadi mari kita lompat cerita langsung ke hari tes substansi. Saat itu, tes di Surabaya dijadwalkan tiga hari, mulai tanggal 16-18 Mei 2017. Tes substansi terdiri dari empat tahap, mulai dari verifikasi, wawancara, Essay On The Spot (EOTS), dan Leadership Grup Discussion (LGD). Keempat tahap ini ada yang selesai semua dalam satu hari, ada juga yang jadwalnya tiga hari. Kebetulan saya dapat jadwal keempat tahap itu di hari kedua, full seharian. Jadi gak repot bolak-balik kos-kosan ke Gedung Keuangan Negara (GKN) di Surabaya, lokasi tes saat itu.

Sesuai jadwal, saya dapat waktu verifikasi pukul 9.30, tapi untuk mengurangi risiko terlambat karena macet atau nyasar, saya ngojek dari Gubeng Airlangga (kos-kosan) ke GKN pukul 06.30 dan sampai tepat pukul 07.05, setelah beberapa kali diajak muter mas-mas ojek yang ternyata baru semingguan jadi ojek online di Surabaya dan banyak gak tau jalannya (makasih buat mas-mas ojek yang udah nganter saya saat itu, dengan biaya cukup murah dan bisa sampai di tempat tes dengan selamat, saya cukup terharu dan bahagia, ternyata bahagia saya sederhana, ngojek murah plus selamat aja saya udah bahagia).

Baik lanjut, absensi peserta dimulai pukul 08.00 tepat. Setelah absensi saya duduk sendiri nunggu jadwal verifikasi data, saya gak kenal siapapun saat itu -_-. Jadwalnya ternyata cukup tepat waktu. Sekitar pukul 09.20 saya dipanggil untuk verifikasi. Alhamdulillah persyaratan sudah lengkap saya bawa. Setelah itu saya kembali duduk sendiri, menunggu pukul 11.00 untuk tes wawancara.  Sekitar pukul 11.10, saya dipanggil untuk ngantri di bangku peserta wawancara, tepatnya di lantai empat (lokasi kumpul pesertanya di lantai satu).

Saat menunggu giliran masuk, saya mulai sedikit gugup. Saya ingat waktu itu saya ngirim sms ke ibu sebelum masuk ruang wawancara. Kata ibu, perbanyak baca alamnasrah, saya nurut. Sebelum masuk ruangan, saya komat-kamit baca doa dulu. Ruang wawancaranya cukup besar, tepatnya sebuah aula. Saya dapat meja pewawancara nomor 7. Pewawancaranya ada tiga, satu orang psikolog dan dua orang akademisi. Ibu-ibu psikolognya baik banget, beliau dari semarang, duduk di tengah dan diapit oleh dosen dari universitas negeri Jakarta dan Makassar. Saya gak akan uraikan tanya jawab dengan para interviewer karena pertanyaan yang saya dapatkan tergolong mirip-mirip dengan tulisan teman-teman lain yang pernah coba daftar LPDP wkwk. Tapi agar teman-teman yang baca tulisan saya dapat sedikit faedah, saya coba paparkan benang merahnya saja.

Kalau tidak salah, saya diwawancara setitar 40 menit lebih. Mungkin karena CV pendaftaran saya penuh dengan nama beberapa organisasi, sekitar 70 persen pertanyaannya seputaran bagaimana memanage organisasi. Selebihnya yang tertera dalam rencana studi dan essai yang saya buat, misalnya tentang alasan pemilihan kampus tujuan, Toefl saya yang Cuma 417, dan peran kita dalam masyarakat. Saat waancara itu saya sadar, yang dibutuhkan Indonesia bukan sekedar prestasi dalam bentuk penghargaan, tapi sejauh apa peran dan tindakan kita bisa memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Sebisa mungkin saat wawancara, saya mencoba profesional dengan tidak menangis, tertawa, menjawab dengan terlalu menggebu-gebu, dan panik. Kalau kiat-kiat saat interview, teman-teman bisa shearching sendiri, hampir di semua tulisan blog kiatnya sama aja hehe. Saat seperti itu kuncinya mungkin kita harus tenang dan ingat tujuan awal. Jangan hapalkan kiat-kiat yang udah dibaca dalam otak, percaya aja otak kita udah kerja keras dan sangat bisa dipercaya kok buat ingatin semua anggota badan kita tentang kiat-kiat yang udah kita baca. Jangan dulu mikir bakal lolos atau enggak, berusaha aja yang terbaik, toh Tuhan baik, baik banget.

Keluar dari ruang wawancara, saya benar-benar ngerasa lega. Saking lega dan senengnya, saat masuk lift buat turun ke lantai satu, ada bapak-bapak yang satu lift dengan saya turun di lantai tiga, liftnya berhenti di lantai tiga dan saya malah keluar dan ngira udah sampai lantai satu. Karena udah terlanjur keluar lift, saya milih turun lewat tangga untuk ke lantai dasar -_-.

Pukul 12.45 saya dapat giliran EOTS.  Waktu itu, pertama kali kumpul langsung dengan kelompok LGD, saat ngantri untuk EOTS, kami berdelapan sempat diskusi masalah tema LGD yang kiranya bakal keluar. Kebetulan tes EOTSnya bareng kelompok LGD dan satu kelompok lain.

Saat tes EOTS, kita diberi waktu 30 menit, ada sekitar 15 peserta dari dua kelompok. Kami duduknya berdua-dua. Sekali lagi, jadi hitungannya ada satu orang yang duduk sendiri, dan itu saya wkwkwk. Pilihan temanya ada dua, “pendidikan vokasi” dan “kebijakan terhadap nelayan”. Masing-masing tema juga diberi sedikit pengantar, jadi kita ada gambaran untuk tema tersebut. Lagi-lagi saya dinaungi keberuntungan, soalnya selepas subuh tadi, saya baru aja baca tiga tulisan tentang pendidikan vokasi tersebut, dan insyaalloh juga cukup paham maksud dan arah isunya. Jadilah saya menulis dengan riang gembira.

Selepas EOTS, dilanjutkan langsung dengan tes LGD. Saat ngantri masuk ruangan, kami sekelompok sepakat gak akan ada moderator dan harus batasin diri berargumen masing-masing dua menit. Tema LGD kami saat itu tentang “bonus demografi”. Tapi tenang aja, kita LGD gak dengan tangan kosong kok, tiap orang bakal dikasi sebuah artikel tentang topik yang diberikan, jadi kita diberi waktu buat baca artikel itu dulu sebelum diskusi. Ada selembar kertas kecil juga, barang kali ada yang mau nulis-nulis gitu.

Ada cerita sedikit tidak menarik saat LGD :D. Jadi sebelumnya kami (sekelompok LGD) sudah sepakat tidak ada moderator. Tapi sepertinya saya sedikit salah paham atau gak paham konsep diskusi, atau teman kelompok saya yang kurang sabar -_-. Salah seorang kawan membuka diskusi dengan memperkenalkan diri dan langsung mengemukakakan pendapatnya. Selepas dua menitan dia bicara dan menutup pendapatnya, saya angkat tangan untuk mohon izin bicara pada forum, eh teman di samping kanan saya malah nyerobot duluan dan mengemukakan pendapat. Saya masih belum ngeh, kedua kalinya saya angkat tangan lagi, dan sekali lagi teman yang lain langsung masuk bicara tanpa ngindahin saya yang angkat tangan. Jadilah saya paham, bahwa diskusi tanpa moderator itu modelnya kayak gitu :’D

Tapi saya gak enakan untuk langsung bicara sebelum tanda angkat tangan saya direspon, setelah tiga kali tidak diindahkan, akhirnya keempat kalinya izin angkat tangan saya direspon dengan nggak adanya kawan yang nyerobot ngasi pendapat. Saya ingat saat itu, saya orang kelima yang memberikan pendapat. Setelah kami semua berpendapat, masih tersisa lima menit waktu. Tiga orang kawan berhasil menambahkan pendapatnya saat itu. dan saya memilih untuk tidak angkat tangan lagi. Karena saya pikir semua pendapat juga sudah saya utarakan.

Itulah akhir dari tes substansi yang selesai tepat pukul 14.30. Saya kembali ke gubeng airlangga pakai ojek online lagi yang bapak gojeknya baik banget ngasi masker gratis buat saya (makasih pak, lagi-lagi bapak gojek buat saya bahagia).

Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 19 Juni, pengumuman tes akhir sudah keluar. Saya pikir pengumumannya bakal keluar ba’da buka puasa, seperti pengumuman tes administrasi dan AO sebelumnya. Tapi ternyata lebih cepat sedikit.

Waktu itu tepat pukul lima sore, bapak minta dibelikan es campur. Saya udah pakai jilbab rapi dan “ting” suara email masuk bergetar sampai ke uluh hati saya :D Saya intip pengirimnya dan perasaan saya tambah amburadur. Saat itu ada sms juga yang masuk dari pihak LPDP yang mengonfirmasi bahwa email pengumuman sudah terkirim ke alamat email masing-masing. Sebelum baca, saya tenangin pikiran dan bilang ke diri sendiri “kamu udah sering gagal, jadi kalau kali ini gagal lagi gak apa-apa.”

Percaya gak sih? Tuhan gak pernah salah menentukan timing untuk segala cerita kita? Saat buka email itu, pikiran saya terbang saat pertama kali daftar beasiswa dan gagal, sedangkan kawan yang saya bantu berhasil, kedua kali gagal, ketiga kali masih gagal dan kawan dekat saya berhasil lagi, ke empat kali gagal, dan saya mulai terbiasa untuk gagal.  Saya ingat juga awalnya saya gak niat daftar karena ngerasa yang S1 saja gagal terus, mana mungkin yang S2 sekali coba langsung bisa.

Tapi kalau Tuhan maunya kamu lolos sekarang, pikiran pesimismu itu mau apa? Dalam pemberitahuan email itu menyatakan saya lolos tahap akhir dan saya menangis lebih keras ketimbang saat gagal dulu.

Saya belajar banyak hal dari peristiwa itu. Seandainya saya menyerah untuk coba yang kelima kalinya karena empat percobaan lain selalu gagal, seandainya saya tidak mengikuti pikiran tidak tahu malu saya untuk memperbaiki diri dan mau berusaha lebih dari sebelumnya, saya mungkin akan jadi bagian orang yang berdecak kagum melihat kesuksesan teman-teman saya yang lain.

Saya percaya, apa yang saya dapatkan saat ini tidak hanya karena persiapan sejak pertengahan januari lalu. Tapi juga imbas dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Bukankah dulu saat gagal saya juga sudah berusaha? Tapi Tuhan gak balas langsung, Dia minta saya nunggu sedikit lebih lama, karena Dia gak mau ngasi saya hal kecil yang saat itu sangat saya inginkan. Dia ngasi hal besar yang sama sekali nggak saya bayangkan. Dan satu lagi, sebelumnya saya pernah bilang, restu Ibu itu dampaknya nggak terdefiniskan bukan? Saya buktikan sendiri sekarang.  
Semoga bermanfaat :)
Wassalaumalikumwarohmatulloh.

Lombok, Juli 2017

Komentar


  1. Menginspirasi banget nda. Thank you udah berbagi cerita. Semoga bisa jadi cambuk semangat biar bisa sukses kek inda....

    BalasHapus
  2. Hahahahahah.............. makasih ulasan lengkapnya......nyilunya sampe sumsum. BTW, gimana kalau bagiannya mba Linda Kita sekelas yg ulas.....hahahahaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

23 Alasan Kenapa Kamu Tidak Bisa Memilih Kabur dari PB LPDP UM 2017

Bukan perkara mudah menyukai sesuatu yang sebelumnya tidak kau kenal. Kau terlebih dahulu harus mengetahui nama, wajah, perangai, suara, kegemaran, dan lainnya. Kemudian jika sudah sampai level atas, kau akan mulai mengenal tanda-tanda kehadiran seseorang hanya dari suara batuk atau langkah kakinya. 

Cerpen: Topeng Perempuan

Jika ada yang bertanya padaku seberapa penting topeng bagi seorang perempuan . Akan kujawab dengan sepenggal kata, topeng membuatku hidup . Dan pada banyak hal, lingkungan memaksa dan membutuhkanku dengan topeng ini.

Cerpen: Kota Tanpa Anak-anak

Sumber gambar: www.google.com      Desa kecil itu gempar oleh suara teri a kan seorang lelaki.   L elaki itu tidak hanya berteriak, ia juga berjoget-joget mengelilingi rumah tetangganya untuk mema m erkan berita kelahiran anaknya. Tetangga-tetangganya tentu gempar, selama sepuluh tahun, akhirnya ada juga penduduk D esa A yang berhasil melahirkan anaknya dengan selamat.