Langsung ke konten utama

Cerpen: Topeng Perempuan




Jika ada yang bertanya padaku seberapa penting topeng bagi seorang perempuan. Akan kujawab dengan sepenggal kata, topeng membuatku hidup. Dan pada banyak hal, lingkungan memaksa dan membutuhkanku dengan topeng ini.


Kadang aku harus melepaskan topeng ini, duduk di depan cermin seraya memerhatikan dengan cermat lekukan-lekukan kesedihan akibat airmata yang mengendap. Di pipi sebelah kiri dan kanan, ada siratan hitam vertikal dengan rupa yang sangat mirip. Ia serupa lekukan kering yang baru saja dilewati air beberapa waktu yang lalu. Kini siratan itu membuat lekukan yang cukup dalam. Seakan membuat jalan tetap untuk arus yang bisa datang kapan saja.

Jari-jariku kemudian beralih ke arah kerutan di kening. Tapi, kening yang berkerut ini tak bisa mulus seperti semula. Ingatanku menyeruak pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Ketika keningku yang malang harus menahan emosiku yang sangat. Telinga terlalu agresif menerima sinyal dari orang-orang yang membicarakan pilihan hidupku.

Waktu itu aku baru saja sampai rumah ketika azan subuh. Beberapa ibu-ibu yang mengenakan mukena langsung melirik tajam ke arahku. Belum sempat kubuka gerbang rumah, mereka menunjukkan betapa tajamnya lidah manusia. Saat itu mungkin mereka lupa dengan kain suci yang membungkus tubuh mereka. Mereka tidak menegurku, mereka hanya asyik dengan pisau mereka masing-masing. Rupanya pisau itu benar-benar tajam, andai semalam tubuhku tak dimainkan oleh pengusaha kaya raya yang agresif itu, mungkin aku akan berbalik seraya menangkis tajam pisau yang tak tanggung-tanggung membuat robekan yang besar, besar sekali.

Sadar akan tubuh yang masih lemah, nyaliku tak mampu menyelinap di antara kesal yang membuncah. Cepat kubuka gerbang rumah dan lenyap di balik pintu depan rumahku.

Kembali kuperhatikan kening dengan kerutan yang begitu jelas. Kupikir ranjang dan laki-laki itu mampu menghisap amarahku. Tapi rupanya mereka hanya memindahkannya ke keningku.

Belum lama kucurahkan waktu meratapi kening yang tidak lagi mulus, mataku tertuju pada alisku yang perlahan hilang. Kini tak ada lagi garis lengkung di atas sepasang mataku. Gagap melihat wajah tanpa alis yang kini ada di depan cermin, lekas kucari pensil alis di meja rias. Dengan cekatan kugambar lengkung alis di atas kedua mataku. Lengkung alis itu tak kalah indah, bahkan lebih indah dari alisku sebelumnya. Hanya saja, ketika keringat yang tiba-tiba saja keluar dari semak-semak rambutku yang tidak tertata rapi, keringat itu langsung menerpa mataku.

Kuperhatikan alis yang baru saja kubuat, ternyata tak hilang sama sekali karena keringat yang bercucuran. Hanya saja tak ada bulu alis yang sedikit menahan keringat di wajahku. Alis buatan itu serupa bayangan, terlihat tapi tak mampu melakukan apa-apa, tapi aku menyukainya. Ia indah, tidak buruk seperti alis asliku.

Aku lantas  mengingat-ingat kejadian yang membuat kedua alisku hilang. Kurasa tak ada masalah apa pun pada alisku yang begitu tebal dan indah. Tidak, sampai kuingat kebiasaan suamiku yang tak pernah lupa mengecup kedua alisku setiap selesai meniduriku. Tapi itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat nyawanya masih membahagiakan. Kini akibat ia yang tidak berteman baik dengan perangkat tubuhnya, nyawanya pun ikut meninggalkan tubuhnya yang membusuk.

Kembali ke perihal alisku yang hilang. Aku sempat memikirkan hal ini, apa karena laki-laki itu hanya gila dengan bibir merahku, dan tak pernah sekali pun mengecup kedua alisku, membuat bulu alisku rontok dan hilang? Bajingan suamiku memang meninggalkan kebiasaan indah yang tidak bisa ia lakukan seumur hidupku. Ah sial, hidupnya tidak sepanjang hidupku. Ia terlalu cepat membusuk dan mengutukku dengan kebiasaan-kebiasaannya itu, bahkan setelah lama kepergiannya.

Di sela-sela menebalkan kembali alis yang tadi sudah kugambar, mataku beralih pada kedua kantung air mataku yang membesar. Sialan! Ia begitu memuakkan. Bola mata indahku tak enak dipandang lagi. Kantung air mata itu membesar dan membubuhi dirinya dengan warna biru kehitaman yang mengerikan. Seperti baru ditinju berkali-kali. “Setan apa yang berani mengoyak kantung air mataku!” pekikku lebih pada diri sendiri.

Ingatanku menggerus diri pada saat-saat air mataku tumpah setiap kali baru dihabiskan oleh lelaki-lelaki itu. Padahal aku tak pernah dipaksa untuk melayani mereka, justru aku sangat menantikan kehadiran mereka. Menanti kehadiran mereka menjadi hal yang menyenangkan di setiap malam. Karena mereka tak pernah membiarkanku duduk lama dan sendiri. Mereka macan yang bagiku sangat berperasaan.

Kadang mereka obat penawar yang manjur ketika aku mulai bosan menunggu suamiku bangkit dari kuburnya. Hanya saja selepas memuaskan mereka, perasaan rindu pada suamiku mulai menyeruak. Lantas membuat tangisku pecah.

Rupanya karena sering kali menangis seperti itu, membuat kantung air mataku membiru. Seperti lebam dan dipukul berkali-kali. Tangisan yang menyebalkan itu memang sering kali menyakiti dan membuat perih kantung air mataku. Hal-hal seperti itu membuatku sadar, mungkin saja masih ada jiwa manusia dalam aku yang sekarang.

Cepat kuambil air hangat untuk mengompres kantung air mataku. Tapi saat kukompres, air mataku tidak hentinya bercucuran. Ini tentu tidak akan berhasil jika kompresan air hangat terus bercampur dengan air mata. Tidak menemukan cara lagi, kuambil plester di tasku, kemudian dengan cepat memplester kedua mataku.  Rupanya itu sedikit membantu mengurangi keluarnya air mataku.

Setelah beberapa menit mengompres kantung airmata, kubuka plester yang menutup kedua mataku lantas kembali memerhatikan wajahku yang tampak buruk di depan cermin. Akh ingatanku kembali pada suamiku. Dulu ia selalu meyakinkanku pada setidak penting apa jika wajahku tak cantik lagi. “Wajah cantik hanya bonus saja,” katanya. Tapi sekarang, tak ada lagi orang bodoh yang mau hidup tanpa bonus itu. Yah sepertinya semua orang bodoh sudah lenyap di dunia secara bersamaan.

Dering pesan di telepon genggam membuyarkan lamunanku. Kulirik pesan singkat itu seraya masih terfokus pada wajah mengerikan di depan cermin. Rupanya ada yang menunggu kehadiranku. Segera kurapikan pakaian dan bergegas menemui lelaki yang baru saja mengirimkanku pesan.

Hampir saja aku melupakan topeng yang biasa kukenakan. Bergegas kupasang topeng itu di depan cermin, memoles wajah dengan make up dan gincu merah, serta menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh, lantas mengulas senyum sekali lagi di depan cermin. Seakan menertawakan wajah buruk seseorang yang beberapa saat lalu mematung di depan cermin.  Kini perempuan cantik itu kembali, senyumnya begitu manis. Tak ada lagi siratan di kedua pipinya. Tak ada lagi kerutan di keningnya. Alisnya tampak cantik dan tentunya dengan kantung air mata yang memikat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

23 Alasan Kenapa Kamu Tidak Bisa Memilih Kabur dari PB LPDP UM 2017

Bukan perkara mudah menyukai sesuatu yang sebelumnya tidak kau kenal. Kau terlebih dahulu harus mengetahui nama, wajah, perangai, suara, kegemaran, dan lainnya. Kemudian jika sudah sampai level atas, kau akan mulai mengenal tanda-tanda kehadiran seseorang hanya dari suara batuk atau langkah kakinya. 

Cerpen: Kota Tanpa Anak-anak

Sumber gambar: www.google.com      Desa kecil itu gempar oleh suara teri a kan seorang lelaki.   L elaki itu tidak hanya berteriak, ia juga berjoget-joget mengelilingi rumah tetangganya untuk mema m erkan berita kelahiran anaknya. Tetangga-tetangganya tentu gempar, selama sepuluh tahun, akhirnya ada juga penduduk D esa A yang berhasil melahirkan anaknya dengan selamat.