Jika ada yang bertanya
padaku seberapa penting topeng bagi seorang perempuan. Akan kujawab dengan sepenggal
kata, topeng membuatku hidup. Dan
pada banyak hal, lingkungan memaksa dan membutuhkanku dengan topeng ini.
Kadang aku harus
melepaskan topeng ini, duduk di depan cermin seraya memerhatikan dengan cermat
lekukan-lekukan kesedihan akibat airmata yang mengendap. Di pipi sebelah kiri
dan kanan, ada siratan hitam vertikal dengan rupa yang sangat mirip. Ia serupa
lekukan kering yang baru saja dilewati air beberapa waktu yang lalu. Kini
siratan itu membuat lekukan yang cukup dalam. Seakan membuat jalan tetap untuk
arus yang bisa datang kapan saja.
Jari-jariku kemudian
beralih ke arah kerutan di kening. Tapi, kening yang berkerut ini tak bisa
mulus seperti semula. Ingatanku menyeruak pada kejadian beberapa bulan yang
lalu. Ketika keningku yang malang harus menahan emosiku yang sangat. Telinga terlalu agresif menerima
sinyal dari
orang-orang yang membicarakan pilihan hidupku.
Waktu itu aku baru saja
sampai rumah ketika azan subuh. Beberapa ibu-ibu yang mengenakan mukena
langsung melirik tajam ke arahku. Belum sempat kubuka gerbang rumah, mereka
menunjukkan betapa tajamnya lidah manusia. Saat itu mungkin mereka lupa dengan
kain suci yang membungkus tubuh mereka. Mereka tidak menegurku, mereka hanya
asyik dengan pisau mereka masing-masing. Rupanya pisau itu benar-benar tajam,
andai semalam tubuhku tak dimainkan oleh pengusaha kaya raya yang agresif itu,
mungkin aku akan berbalik seraya menangkis tajam pisau yang tak
tanggung-tanggung membuat robekan yang besar, besar sekali.
Sadar akan tubuh yang masih lemah, nyaliku
tak mampu menyelinap di antara kesal yang membuncah. Cepat kubuka gerbang rumah
dan lenyap di balik pintu depan rumahku.
Kembali kuperhatikan
kening dengan kerutan yang begitu jelas. Kupikir ranjang dan laki-laki itu
mampu menghisap amarahku. Tapi rupanya mereka hanya memindahkannya ke keningku.
Belum lama kucurahkan
waktu meratapi kening yang tidak lagi mulus, mataku tertuju pada alisku yang
perlahan hilang. Kini tak ada
lagi
garis lengkung di atas sepasang mataku. Gagap melihat wajah tanpa alis yang kini
ada di depan cermin, lekas kucari pensil alis di meja rias. Dengan cekatan kugambar
lengkung alis di atas kedua mataku. Lengkung alis itu tak kalah indah, bahkan
lebih indah dari alisku sebelumnya. Hanya saja, ketika keringat yang tiba-tiba
saja keluar dari semak-semak rambutku yang tidak tertata rapi, keringat itu
langsung menerpa mataku.
Kuperhatikan alis yang
baru saja kubuat, ternyata tak hilang sama sekali karena keringat yang
bercucuran. Hanya saja tak ada bulu alis yang sedikit menahan keringat di
wajahku. Alis buatan itu serupa bayangan, terlihat tapi tak mampu melakukan
apa-apa,
tapi
aku menyukainya.
Ia indah, tidak buruk seperti alis
asliku.
Aku lantas mengingat-ingat kejadian yang membuat kedua
alisku hilang. Kurasa tak ada masalah apa pun pada alisku yang begitu tebal dan
indah. Tidak, sampai kuingat kebiasaan suamiku yang tak pernah lupa mengecup
kedua alisku setiap selesai meniduriku. Tapi itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat nyawanya
masih membahagiakan. Kini akibat ia yang tidak berteman baik dengan perangkat
tubuhnya, nyawanya pun ikut meninggalkan tubuhnya yang membusuk.
Kembali ke perihal alisku yang hilang. Aku sempat
memikirkan hal ini, apa karena laki-laki itu hanya gila dengan bibir merahku,
dan tak pernah sekali pun mengecup kedua alisku, membuat bulu alisku rontok dan
hilang? Bajingan suamiku memang meninggalkan kebiasaan indah yang tidak bisa ia
lakukan seumur hidupku. Ah sial, hidupnya tidak sepanjang hidupku. Ia terlalu
cepat membusuk dan mengutukku dengan kebiasaan-kebiasaannya itu, bahkan setelah
lama kepergiannya.
Di sela-sela menebalkan
kembali alis yang tadi sudah kugambar, mataku beralih pada kedua kantung air
mataku yang membesar. Sialan! Ia begitu memuakkan. Bola mata indahku tak enak
dipandang lagi. Kantung air mata itu membesar dan membubuhi dirinya dengan
warna biru kehitaman yang mengerikan. Seperti baru ditinju berkali-kali. “Setan
apa yang berani mengoyak kantung air mataku!” pekikku lebih pada diri sendiri.
Ingatanku menggerus
diri pada saat-saat air mataku tumpah setiap kali baru dihabiskan oleh
lelaki-lelaki itu. Padahal aku tak pernah dipaksa untuk melayani mereka, justru
aku sangat menantikan kehadiran mereka. Menanti kehadiran mereka menjadi hal
yang menyenangkan di setiap malam. Karena mereka tak pernah membiarkanku duduk
lama dan sendiri. Mereka macan yang bagiku sangat berperasaan.
Kadang mereka obat penawar
yang manjur ketika aku mulai bosan menunggu suamiku bangkit dari kuburnya. Hanya
saja selepas memuaskan mereka, perasaan rindu pada suamiku mulai menyeruak.
Lantas membuat tangisku pecah.
Rupanya karena sering
kali menangis seperti itu, membuat kantung air mataku membiru. Seperti lebam
dan dipukul berkali-kali. Tangisan yang menyebalkan itu memang sering kali
menyakiti dan membuat perih kantung air mataku. Hal-hal seperti itu membuatku
sadar, mungkin saja masih ada jiwa manusia dalam aku yang sekarang.
Cepat kuambil air
hangat untuk mengompres kantung air mataku. Tapi saat kukompres, air mataku
tidak hentinya bercucuran. Ini tentu tidak akan berhasil jika kompresan air
hangat terus bercampur dengan air mata. Tidak menemukan cara lagi, kuambil
plester di tasku, kemudian dengan cepat memplester kedua mataku. Rupanya itu sedikit membantu mengurangi
keluarnya air mataku.
Setelah beberapa menit
mengompres kantung airmata, kubuka plester yang menutup kedua mataku lantas
kembali memerhatikan wajahku yang tampak buruk di depan cermin. Akh ingatanku
kembali pada suamiku. Dulu ia selalu meyakinkanku pada setidak penting apa jika wajahku
tak cantik lagi. “Wajah cantik hanya bonus saja,” katanya. Tapi sekarang, tak ada lagi
orang bodoh yang mau hidup tanpa bonus itu. Yah sepertinya semua orang bodoh
sudah lenyap di dunia secara bersamaan.
Dering pesan di telepon
genggam membuyarkan lamunanku. Kulirik pesan singkat itu seraya masih terfokus pada wajah mengerikan di depan cermin.
Rupanya ada yang menunggu kehadiranku. Segera kurapikan pakaian dan bergegas
menemui lelaki yang baru saja mengirimkanku pesan.
Hampir
saja aku melupakan topeng yang biasa kukenakan. Bergegas kupasang topeng itu di
depan cermin, memoles wajah dengan make
up dan gincu merah, serta menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh, lantas
mengulas senyum sekali lagi di depan cermin. Seakan menertawakan wajah buruk seseorang
yang beberapa saat lalu mematung di depan cermin. Kini perempuan cantik itu kembali, senyumnya begitu manis. Tak ada
lagi siratan di kedua pipinya. Tak ada lagi kerutan di keningnya. Alisnya
tampak cantik dan tentunya dengan kantung air mata yang memikat.
Komentar
Posting Komentar