Sumber gambar: www.google.com
Desa kecil itu gempar
oleh suara teriakan
seorang lelaki. Lelaki itu tidak hanya berteriak, ia juga
berjoget-joget mengelilingi rumah tetangganya untuk memamerkan berita kelahiran anaknya. Tetangga-tetangganya
tentu gempar, selama sepuluh tahun, akhirnya ada juga penduduk Desa A yang berhasil melahirkan anaknya
dengan selamat.
Semua orang iri
sekaligus berbahagia dengan kelahiran anak perempuan itu. Itu tentu pertanda
baik. Penduduk Desa
A yang mendiami suatu pulau kecil berisikan sembilan kepala keluarga itu tidak
akan lagi terancam punah. Sudah lama tidak ada satupun perempuan yang berhasil
melahirkan anaknya dengan selamat di desa itu. Kalau tidak keguguran saat masih
hamil muda, ya pasti kehilangan anak saat sedang melahirkan.
Pernah dulu seorang
keluarga yang tinggal paling dekat dengan pelabuhan begitu berharap dengan
kehamilan istrinya yang sudah hampir sembilan bulan. Tapi ketika malam
kelahiran anaknya, angin di pesisir pantai sedang besar-besarnya. Tidak ada
hujan malam itu. Tapi riuh suara daun pohon kelapa yang saling menyapu,
ditambah deburan ombak yang tak kalah bisingnya, menikam kebahagiaan keluarga
itu. Anak yang mereka tunggu nyatanya lahir tanpa disertai tangisan. Anak itu
mati sebelum mampu mendengar riuh di luar rumahnya.
Hampir semua orang di Desa A percaya bahwa tidak adanya anak
yang lahir di desa mereka disebabkan kutukan penghuni yang dulu pernah diusir
dari pulau kecil itu. Tak ada penduduk desa yang tidak tahu tentang seorang
lelaki yang pernah beberapa bulan menjadi bagian dari mereka itu.
Ia adalah cucu dari Papuq
Simah, salah seorang warga yang tinggal sendiri di suatu gubuk di desa itu.
Anak-anak Papuq Simah
sudah berkeluarga dan memilih tidak lagi tinggal di sana. Ia hidup sendiri dari membantu
tetangga-tetangganya. Hingga suatu hari salah seorang cucu laki-lakinya memilih
tinggal dan mengurus Papuq
Simah.
Lelaki itu bekerja dari
pagi hingga petang di pelabuhan. Membantu memperbaiki kapal nelayan di sana dan sesekali ikut berlayar untuk sekadar mencari lauk. Jika dimintai bantuan,
lelaki itu tak pernah menolak dan sangat gesit dalam bekerja. Tapi tak banyak
dari penduduk desa yang mau berteman akrab dengan lelaki itu.
Kebiasaan lelaki itu
yang sering bertapa di pesisir pantai setiap lewat jam dua belas malam membuat
penduduk desa risih. Tak ada paham seperti itu di desa mereka. Beberapa orang
yang sangat fanatik dengan agama juga pernah menegur lelaki itu. Tapi lelaki
itu masih sering melakukan hal serupa setiap lewat jam dua belas malam. Karena
tidak tahan dengan kelakuan lelaki yang dianggap sesat dan aneh itu, penduduk
desa beramai-ramai mengusirnya. Jadilah Papuq
Simah tinggal seorang diri lagi.
Satu minggu setelah kepergian
cucunya, Papuq
Simah ditemukan tewas di pesisir pantai.
Penduduk desa baru mengetahui kematiannya setelah pagi hari mayatnya ditemukan
terbujur kaku dan sudah teramat dingin. Ia sudah cukup lama tidak bernyawa di sana.
***
Kelahiran seorang anak
membuat suasana baru di desa itu. Bapak
dari anak itu tak henti-hentinya menceritakan segala hal yang sudah bisa
dilakukan anaknya. Dari anaknya yang tidak lagi menyusu dengan air bekas cucian
beras, sampai ketika anaknya mampu berjalan sendiri menuju teras rumah. Lelaki
itu sangat bangga dengan segala hal yang dilakukan anaknya.
Sebenarnya perkembangan
anaknya cukup lambat. Anak perempuan itu baru bisa berjalan saat usianya tiga tahun.
Ia juga baru bisa berbicara dengan cukup jelas saat usianya hampir empat tahun.
Tapi lelaki itu terus saja membanggakan anaknya. Ia menceritakan segala hal
tentang anaknya, membawa anaknya ke setiap rumah tetangga untuk sekadar diperlihatkan saja tapi tak boleh
disentuh. Ia satu-satunya anak di desa itu.
Tidak sedikit dari
penduduk desa lama-kelamaan geram dengan kelakuan lelaki itu. Semakin hari ia
bertambah sombong. Ia tak lagi bekerja sebagai nelayan dan memilih tinggal di
rumah untuk menjaga anaknya. Sang istri sebenarnya sangat malu dengan kelakukan
suaminya itu. Tapi setiap kali disuruh bekerja. lelaki itu malah
bermalas-malasan bersama anak perempuannya.
“Ah minta saja beras
dan beberapa lauk dari tetangga kita. Mereka tentu senang membagi makanan untuk
anak perempuan kita ini,” jawabnya jika diminta bekerja.
Sang istri yang geram
dengan kelakuan suaminya akhirnya minggat dari desa itu. Ia membiarkan suaminya
dengan anak perempuan yang selalu ia banggakan itu.
Penduduk desa juga muak
memberi makan lelaki yang selalu membanggakan anaknya itu. Pernah suatu hari
lelaki itu ribut dengan tetangganya karena tidak diberi jatah lauk.
“Cari makan sendiri
saja! Kami juga lelah bekerja hingga bisa makan seperti ini,” hentak tetangga
lelaki itu.
“Kalau saya bekerja
siapa yang akan mengurus anak saya, toh side
juga tidak punya anak untuk diberi makan. Bagi saja jatah makanan itu untuk
anak saya.”
“Hiduplah dengan anak
itu, minta makan saja padanya. Kami tidak lagi iri dengan anak itu!”
Lelaki itu geram karena
tak ada satupun tetangga yang bersedia memberinya makan. Ia mengemasi beberapa
barang di rumahnya, kemudian membawa anak perempuannya minggat dari desa itu.
“Mau kemana, Pak?
“Kita ke kota saja,
nanti di sana dapat uang banyak. Orang-orang
pasti takjub melihat seorang anak yang lahir dari desa keparat ini. Semua orang
di sana akan kagum padamu.”
***
“Permisi, saya dari Desa A, ini anak saya.”
Lelaki itu terus
mengulangi kalimat yang sama. Masuk dari satu toko ke toko yang lain dengan
memegang tangan anaknya. Tapi semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Tak banyak yang menghiraukannya. Jika pun ada, mereka hanya akan mengeluarkan
recehan atau lembaran seribu rupiah untuk diberikan pada anak perempuan itu.
“Pak, kenapa mereka
memberi kita uang?”
“Itu karena kamu anak
yang luar biasa, satu-satunya anak yang bisa lahir di Desa A, mereka yang memberi uang itu
begitu kagum padamu.”
Anak perempuan itu
hanya mengangguk mendengar penjelasan bapaknya. Beberapa saat kemudian ia
kembali menarik-narik tangan bapaknya.
“Tapi, bukankah di sini banyak anak sepertiku, Pak?
“Siapa bilang? Di sini juga tidak ada anak-anak. Hanya kau
satu-satunya anak di kota ini.”***
*Terbit di harian Suara NTB 2016
Komentar
Posting Komentar