Gadis itu terlihat sedang duduk sendiri di halte depan sekolahnya. Dengan seragam putih dan rok biru melekat pada tubuh mungilnya, rambutnya tak terlihat karena tertutup indah oleh jilbab putih khas murid-murid SMP. Trik matahari tak mengganggu kesendirian gadis itu. Lama ia duduk sendiri, ia tampak bosan dan mengkibas-kibaskan wajahnya yang kini mulai ternaungi oleh keringat.
“Kakak lama banget sih, aduh pokoknya kalau pulang aku laporin Mama nih..” rengeknya seraya mengeluarkan buku berwarna merah dari tasnya dan mengipas sekujur tubunya.
“Kakak lama banget sih, aduh pokoknya kalau pulang aku laporin Mama nih..” rengeknya seraya mengeluarkan buku berwarna merah dari tasnya dan mengipas sekujur tubunya.
Tampak dari kejauhan, seorang lelaki mengendarai pespa putih dan helm yang terlihat sedikit aneh dengan penutup helm yang berwarna orange mencolok, datang dan berhenti tepat didepan gadis itu. Wajahnya yang sayu dan badannya yang tegap, terlihat begitu kelelahan siang itu.
“maaf Lin, tadi kakak nganter guru kakak dulu, jadi…”
“akkkhhh udah deh, nanti aja jelasinnya ke Mama. Bosen tau nunggu lama disini, mana panas kaya gini lagi,, ukkkhh,” jawab gadis itu dan dengan segera menaiki pespa yang menjemputnya itu.
Gadis itu bernama Violin, kakaknya biasa memanggilnya Olin. Olin memang sedikit manja pada kakaknya. Maklum ia hidup tidak didampingi dengan kasih sayang seorang Ayah. Ayah dan Mama Olin bercerai ketika Olin sedang berada dalam kandungan. Oleh karena itu Olin tak pernah merasakan bagaimana kehangatan kasih sayang seorang Ayah. Ia sedih? Tidak !. ia adalah anak yang cukup tabah, buktinya walaupun ia dibesarkan hanya dari getiran tangan seorang wanita paruh baya yang bekerja sebagai penjahit, Olin bisa bersekolah dan beraktivitas seperti remaja pada umumnya.
Tak ada yang berbeda dari kehidupannya. Ia anak yang pintar, dan sangat Hoby menulis. Dari kecil Kakak lelakinya yang biasa dipanggil Emon, sangat mendukung aktivitas menulis Olin dan selalu menjadi orang pertama yang akan mengkritik tulisan-tulisan Olin. Emon tak hanya sekedar kakak tapi ia juga sahabat terbaik Olin. Perbedaan usia yang tidak jauh antara siswi kelas 3 SMP, dan sisiwa kelas 2 SMA itu membuat kedua bersaudara itu sangat akur walaupun tak jarang mereka selalu bertengkar karena hal-hal yang sepele.
Tak ada yang berbeda dari kehidupannya. Ia anak yang pintar, dan sangat Hoby menulis. Dari kecil Kakak lelakinya yang biasa dipanggil Emon, sangat mendukung aktivitas menulis Olin dan selalu menjadi orang pertama yang akan mengkritik tulisan-tulisan Olin. Emon tak hanya sekedar kakak tapi ia juga sahabat terbaik Olin. Perbedaan usia yang tidak jauh antara siswi kelas 3 SMP, dan sisiwa kelas 2 SMA itu membuat kedua bersaudara itu sangat akur walaupun tak jarang mereka selalu bertengkar karena hal-hal yang sepele.
***
Di rumah.
“Kakak tadi pasti habis nganterin Jesika kan..?” Tanya Olin dengan gaya yang sedikit mendesak.
“gak kok, tadi Ika pulang diantar temannya, jadi..”
“jadi Kakak selalu tidak bisa berbohong dihadapan Adikmu yang manis ini, udah lah gak usah bohongin Olin. Olin tahu pasti si Jesika itu minta diantein pulangkan, terus Kakak gak tega nolak permintaannya, iya kan..!”
Emon hanya diam sejenak dan terlihat sedikit gugup dengan desakan Adiknya itu, tanpa harus menjawab, Emon pasti sudah tahu kalau ia memang tak pernah bisa membohongi Adik perempuan satu-satunya itu.
“Oke oke Kakak emang gak pernah bisa bohong sama kamu, tapi apa salah Jesika meminta Kakak buat nganterin dia pulang, Kakak kan pacarnya.”
“oh ya Kakak memang pacarnya, tapi ingat Kata Mama. Jangan pernah menelantarkan Olin hanya karena “pacar” Kakak itu.” Sergah Olin seraya berlalu dihadapan Emon. Yang ditinggalkan hanya bisa mendesah dan menerima kenyataan yang memang harus dijalaninya sebagai Kakak sekaligus “Ayah” untuk Olin.
Tidak banyak yang tahu perwatakan dari Emon, teman-teman dan tetangganya hanya mengenal Emon sebagai seseorang yang pendiam dan selalu patuh kepada Ibunya. Keadaan ekonomi keluarganya yang memang serba pas-pasan membuat Emon bekerja sambilan untuk menutupi kekurangan dari hasil menjahit Ibunya. Paginya ia tetap bersekolah, dan malamnya ia magang disebuah toko kaset dekat taman yang juga tak jauh dari rumahnya.
***
Malam itu tampak berbeda, kabut gelap yang melintas menutupi cahaya bintang, kini mulai memuntahkan titik-titik hujan. Gadis kecil itu terlihat melamun di teras rumahnya, kibasan angin yang membawa rintikan air mengenai sebagian tangannya, tidak ia hiraukan sama sekali. Ia sepertinya sedang cemas, terlihat dari bola matanya yang tak pernah berhenti mengarah ke gerbang pagar rumahnya. Seakan menunggu sulapan malam yang mampu menghangatkan tubuhnya. Ia tidak memalingkan wajahnya dari gerbang pagar itu. Lama ia berdiri diteras itu, seorang wanita berpakaian daster berwarna coklat menghampirinya dari arah dalam rumah.
“Kenapa belum tidur Lin?, ini kan hujan, ayo masuk ke dalam”
“Sebentar dulu Buk, kak Emon belum pulang. Mungkin dia kehujanan dijalan, apa tidak sebaiknya Olin jemput dengan payung ya Buk?”
“Sudah jangan terlalu dipikirkan, sebentar lagi kakakmu pasti pulang. Mungkin toko kasetnya buka lebih lama, ini kan malam minggu, siapa tahu pengunjungnya sangat ramai. Ayo sekarang Olin nunggu kakak didalam rumah saja”, kata Ibu itu seraya mengelus hangat kepala Olin.
Suasana malam semakin riuh dengan hamparan hujan yang terus turun membasahi tandus cabang-cabang dunia. Dibalik jendela kayu sebuah kamar, gadis itu masih tampak setia menunggu kehadiran kakaknya. Senyuman tersungging dibibirnya yang tipis itu, tatkala tampak seorang lelaki berlari masuk melewati gerbang pagar berukuran satu meter. Gadis kecil itu berlari membukakan pintu rumah, sebelum sang kakak mengetuknya. Emon langsung terkejut mendapati adiknya berdiri didepan pintu rumah, tak biasanya Olin menanti-nantikan kehadirannya.
“Ada apa lagi ini?” sergah Emon yang sepertinya curiga dengan sorotan mata Olin yang berbinar-binar malam itu.
“Taraaamm… Novel pertamaku sudah jadi kak”, ucap Olin seraya memamerkan lembaran-lembaran berisi novel yang berhasil ia tulis sendiri.
“wah wah hebat, bab terakhirnya sudah kamu selesaikan Lin?”
“udah donk..”
“Baguslah kalau begitu, hari senin kita sama-sama mengirim naskah novelmu ini ke Gramedia Pustaka, siapa tahu bias diterbitkan..”
“ettt tunggu dulu, kakak gak lupa kan dengan janji kakak?”
“iyaa tentu donk, besok pagi kakak akan tepati janji kakak. Sudah jangan bawel lagi, ayok masuk udara diluar sangat dingin”.
***
Setelah meletakkan kantong plastik hitam berisi pisang goreng ditas meja makan, Emon terlebih dahulu membasahi wajahnya dengan air wudhu. Saat itu tepat pukul 23.00, Emon terlambat sholat isya karena banyaknya pengunjung toko kaset tempat ia bekerja. Setelah sholat, Emon dan Olin duduk dimeja makan tempat Ibunya meyelesaikan sisa pesanan jahitan. Ketiga pasang bola mata itu, tertuju pada kantong plastik hitam berisi pisang goreng yang dibawa Emon tadi. Mungkin ketiga orang itu sudah sangat lapar, tapi lamunan mereka pada malam itu membuat pisang goreng yang sepertiny sudah dingin itu, masih utuh dan belum disentuh sama sekali.
“Maaf ya Buk, Emon cuma bisa beli pisang goreng ini saja. Besok Emon gajian kok, jadi bias beli berasa dan lauk pauk lainnya.” Kata Emon mencoba menghibur hati Ibu dan adiknya itu.
“Tidak apa-apa Nak, ini juga sudah Alhamdulillah. Sebagaimanapun rezeki yang kita dapatkan harus tetap kita syukuri, yang penting kan halal Nak..”, nasehat Ibu pada kedua anaknya.
Gadis kecil itu tampak lahap memakan pisang goreng dikantong plastik hitam itu. Ibunya hanya tersenyum melihat tngkahnya. Sementara Emon, masi terdiam denan pandangan mata hampa. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang kini mengganjal diotaknya. Mungkin memikirkan hadiah yang ia janjikan pada Adiknya, atau mungkin sedang memikirkan hal yang lain.
Dingin malam itu terus menerobos diseluruh seluk beluk tubuh gadis itu. Diatas ranjang besi berlapiskan tikar, gadis itu tengah menahan tubuhnya yang menggigil kedinginan. Emon yang melihat situasi itu, segera menyelimuti Adiknya dengan sarung yang biasa digunakan Emon untuk sholat. Melihat wajah ceria yang kini tertidur lelap itu, Emon sepertinya menitikkan air mata. Dielusnya poni yang menutupi alis Adiknya itu. Ada gurat penyesalan diwajah Emon malam itu. Dia seperti memikirkan sesuatu, atau bahkan menyesali sesuatu. Ia begitu menyayangi gadis itu, dan malam yang dingin, seakan berusaha mengelabui hati Emon. Ia berpikir, gadis itu masih kecil, banyak bayangan harapan yang ia lihat dari wajah gadis yang kini tertidur lelap itu.
***
Disaat senja tak mampu lagi menjaga terangnya mentari
Disaat bintang tak mampu lagi membiaskan cahayanya pada bulan
Disaat keabadian hanya sebuah harapan
Biarkan kasih sayang yang menutupi semua ketidak mampuan itu
***
Minggu pagi,
Setelah membersihkan rumah dan menyapu halaman, gadis kecil itu tampak riang berjalan menyusuri jalan tanah dekat rumahnya. Ibunya meminta tolong untuk mengantarkan jahitan baju kebaya ke rumah tetangganya. Mungkin bukan karena sekedar mengantar jahitan yang membuat gadis itu tampak gembira, terlebih hari ini kakaknya menjanjikan hadiah untuknya karena berhasil menuntaskan novel yang selama tiga bulan ini ia tulis sendiri.
“Sajadah baru”
Hanya itu yang menari dipikirannya kini.
***
Siang itu, tepat pukul 12.30, Ibu terkejut dengan kedatangan Jesika yang terlihat histeris dan ketakutan.
“ada apa ini?”, Tanya Ibu dengan panik melihat Jesika yang terus menangis.
“Emon Buk….”
“ada apa dengan Emon?”, gadis itu memotong pembicaraan Ibunya dengan pacar kakaknya itu dengan penasaran.
“Emon ditembak mati Buk, gara-gara melarikan diri dari kejaran polisi yang hendak menagkapnya.
“Maksud kamu apa? Ibu tidak mengerti?, sergah Ibu yang belum percaya dengan apa yang baru Jesika ucapkan tadi.
“Emon tertangkap mengedarkan narkoba buk, tapi dia melarikan diri saat dibekuk polisi. Emon meninggal buk, di pergi… pergi..!”
Tak ada lagi perbincangan saat itu. Ibu berusaha menabahkan hatinya dan segera lari menuju rumah sakit tempat jenazah anaknya diotopsi. Sedangkan gadis itu, dia hanya diam, terpaku dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Aku sayang kakak
Tidak peduli sesederhana apa hadiah yang selalu kakak beri padaku
Aku tetap sayang kakak
Tapi hari ini, ketika aku begitu menantikan janji kakak
Kakak malah membuat aku kecewa
Ibu menangis, aku sedih melihat keadaan ini
Tidak ada rasa bangga lagi yang ku lihat dari sesosokmu
Hanya tubuh kaku yang kehabisan kasih sayang, dan dirasuki roh jahat
Yang ku lihat dari dirimu kini
Jesika yang kini mulai dapat mengontrol dirinya, berjalan mendekati gadis itu. Dipegangnya kedua tangan gadis itu. Jesika memeluk gadis itu dengan hangat. Seraya memberikan bungkusan Koran berisi sajadah hijau didalamnya.
“Olin, ini sajadah dari kak Emon untukmu. Dia sudah lama membeli sajadah ini untukmu. Ia menitipkannya pada kakak. Katanya, walaupun novel kamu belum selesai, ia yakin dalam waktu dekat, Adik kecilnya ini dapat menyelesaikan novel karangannya sendiri. Ini ia beli dengan gaji pertamanya dua bulan yang lalu. Jangan benci dia Lin, dia begitu menyayangimu. Mungkin keadaan yang membuat dia harus seperti ini. Dan sekarang hanya doa yang ia butuhkan darimu.”
Gadis itu hanya diam, wajah manisnya kini basah dengan air mata. Gadis itu mencium hangat sajadah dari kakak tercintanya itu. Sajadah hijau hadiah terakhir dari Kakaknya.
Tuhan
Aku tahu kakak salah, tapi tolong
Maafkan dia
Dia hanya bingung dan putus asa.
*Terbaik II GEMARAME Tingkat SMP/SMA oleh kantor Bahasa Prov NTB (Oktober 2011)
Komentar
Posting Komentar